FCB KALAH DARI BILBAO? SEMUA GARA-GARA PEP!

Pelajaran yang saya ambil selama ini adalah: jangan pernah berharap jika orang yang ada didepan kamu bisa menyamai seseorang dimasa lalu. Setiap orang memiliki perbedaan, sampai hal terkecil seperti sidik jari atau DNA.



Menarik melihat headline media massa besar di Spanyol yang mengkuliti Tata Martino hidup-hidup atau menaruh Tata di kursi pesakitan pasca FC Barcelona kalah dari Athletic Bilbao di Stadion San Mames.

Beragam opini dari fans bermunculan. Memecat Tata karena telat mengganti pemain, menyalahkan Xavi Hernandez yang tidak terlihat perannya, menyalahkan Jose Pinto yang tidak bisa menjaga gawang Barca perawan, menyalahkan Javier Mascherano dan Pique yang beberapa kali bisa dikalahkan oleh pemain Bilbao, menyalahkan Adriano Correira karena selalu terlambat menutup pergerakan lawan, mempertanyakan performa Neymar Jr atau kritik mengenai permainan Barca yang tidak sesuai dengan filosofi permainan mereka. Intinya adalah ketika tim sedang tertekan karena bagusnya permainan lawan, semua kesalahan akan terlihat.

Akan tetapi siapa yang salah sebetulnya? Apa yang salah dengan FC Barcelona sehingga bisa kalah dua kali secara beruntun? Well, yang salah adalah ekspektasi fans dan media terhadap FC Barcelona dibawah asuhan Tata Martino.

Rata-rata orang akan berkata jika FCB dibawah kepelatihan Tata tidak lah bermain filosofi mereka, tiki-taka. Pertanyaan saya adalah apakah tiki-taka adalah filosofi utama dari blaugrana? Jika menjawab “iya”, lalu bagaimana dengan kepelatihan Frank Rijkaard yang seingat saya tidak bermain tiki-taka? Bagaimana dengan strategi Carles Rexach, Radomir Antic, Louis van Gaal dan Tito Vilanova? Jika menjawab “tidak”, lalu apa filosofi Barca?

Seperti sudah saya tulis sebelumnya, Pep Guardiola memberi standar yang tinggi bagi FCB dan cules. Indahnya permainan Pep dan raihan piala yang bejibun menjadikan permainan Pep sebagai “cara yang benar” dan setiap pelatih Barca dikemudian hari yang bermain dengan caranya sendiri akan dicap sebagai “cara yang salah”. Padahal setiap pelatih mempunyi cara dan metode masing-masing yang berbeda, karena setiap manusia memiliki pemikiran atau pandangan yang berbeda dengan manusia lain. Jika diharapkan untuk seragam, maka hidup akan menjadi membosankan.

Ah iya, Tito Vilanova. Seingat saya (jika saya salah, artinya saya tidak ingat alias lupa), Tito pun tidak 100% bermain seperti-apa-yang-katanya-filosofi-Barca. Memang, Tito memainkan strategi mendikte lawan dan lainnya, tapi Tito memainkan umpan lambung atau crossing. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh Pep.
Lalu kenapa tekanan terhadap Tata lebih besar dibanding kepada Tito? Karena Tata dianggap sebagai orang luar, dibanding Tito yang pernah menjadi assisten Pep dan Jordi Roura yang pernah menjadi staff Pep. Karena Tito dan Roura adalah mantan pemain Barca (meski kurang bersinar), dibanding Tata yang bermain di sebuah klub “antah berantah”. Padahal rekor kemenangan Tata lebih bersinar dibanding FCB musim 2012/13 atau bahkan di musim trebel 2008/09. Rekor Tata hanya kalah dari kepelatihan Pep di musim 2011/12 yang bisa tidak terkalahkan di 21 pertandingan di semua ajang (Super Spanyol, Super Eropa, Liga Champions Eropa dan La Liga). Sedangkan raihan Tata sejauh ini adalah tidak terkalahkan di 20 pertandingan di semua ajang (Super Spanyol, Liga Champions Eropa dan La Liga). Hanya karena Pep lebih unggul 1 pertandingan tidak kalah (Super Eropa melawan FC Porto, karena Tata tidak bermain di Super Eropa), maka seluruh dunia mentasbihkan Tata sebagai pesakitan.

Padahal jika ditilik lebih jauh, Tata masuk ke Barca ketika tim sedang menjalani pertandingan pra-musim ke Asia. Tidak ada waktu untuk berlatih strategi atau menerapkan filosofi Tata. Semua dilakukan seiring jalannya pertandingan. Apakah itu cukup? Sebuah excuse yang masuk akal memang, namun ekspektasi terlalu besar.


Lalu apa alasan kekalahan dari Ajax Amsterdam dan Athletic Bilbao? Messi-dependencia? Antara ya dan tidak. FCB memang masih mengandalkan Lionel Messi sebagai ujung tombak. Ini terlihat dari skuat yang ada. Dengan tidak adanya striker murni dan tendensi pemain lain mengoper bola ke Messi agar Messi bisa mencetak gol, artinya kemungkinan permainan buntu karena tidak adanya finisher sangatlah besar.
Apakah striker murni bisa menjadi solusi bagi Barca? Bagi saya pribadi, iya. Logikanya begini: seorang striker memiliki kecenderungan egois sehingga kecil kemungkinan untuk mengoper bola ke Messi. Ketika tim lawan berevolusi untuk menghentikan Barca melakukan finishing dengan melakukan low block atau yang biasa disebut parker bus (dan ini masih terjadi sampai sekarang) karena permainan false 9 Barca, maka Barca harus berevolusi kembali. Bukankah dalam hidup sebuah evolusi atau perubahan mutlak dilakukan agar bisa survive, seperti yang dilakukan makhluk hidup di dunia?

Ketika tim lain bermain dengan number 9, Barca bermain dengan false 9. Ketika lawan memikirkan cara menghentikan number 9, Barca bermain dengan false 9. Ketika lawan memikirkan cara untuk menghentikan false 9 (yang menjadi tren akhir-akhir ini), Barca harus berevolusi kembali.

Lalu apa yang salah dengan permainan melawan Ajax dan Bilbao? Kenapa lini tengah seakan “mati”? Kenapa Tata memaksakan bermain dengan 4 lini belakang ketika Adriano bermain tidak maksimal? Kenapa Neymar kesulitan untuk berkembang? Kenapa Tata memasukan pemain pengganti ketika pertandingan hampir berakhir? Kenapa? Kenapa? Semua pertanyaan tadi akan sangat sulit dijawab. Mencari-cari sebuah kesalahan sangatlah mudah, namun mencari pembenaran terhadap sebuah kesalahan sangatlah sulit karena harus memiliki rasa empati yang tinggi. Questions of wonder akan ada selalu ada dipikiran manusia. What if…

What if: Tata memainkan 3 lini belakang dan 4 pemain tengah agar bisa mendominasi lini tengah? What if: Pedro dimasukan pada babak kedua karena Pedro memiliki kecepatan agar mudah penetrasi? What if: Barca memainkan 2 DMF, yang satu bertugas sebagai deep playmaker dan satunya lagi sebagai box-to-box? What if: Messi dan Valdes tidak cidera?

Silahkan melontarkan kritik terhadap Tata Martino. Namun harus diingat jika dia bukanlah Pep atau pemberi mukzijat yang bisa membawa kemenangan atau piala secara instan. Semua butuh proses. Masuknya Martino juga merupakan sebuah proses untuk bisa melanjutkan hidup dari bayang-bayang Pep. Bukankah alasan pemilihan Tata Martino itu untuk menghilangkan “legacy” yang pernah ada di Barca? Sayangnya, nama Tata Martino harus jelek karena menerima caci maki dari proses tersebut.

Kesalahan strategi Tata Martino dimungkinkan terjadi, akan tetapi bagi saya ini adalah kesalahan secara struktural. Top to bottom. Dari Sandro Rosell ke para pemain. Para pemain yang rentan cidera, kebijakan transfer dan perpanjangan kontrak yang agak aneh (bagi saya), dan kebijakan sponsorship yang aneh.
Jika ingin mengkritik kenapa Barca tidak bermain tiki-taka, silahkan bertanya ke Sandro Rosell. Tanya ke beliau, kenapa memilih Tata Martino. Oh ya, tolong tanyakan juga soal perpanjangan kontrak Eusebio Sactrisan, kerjasama dengan Qatar Airways dan uang 40 juta euro dari transfer Neymar yang belum jelas.

FCB tidak dilatih oleh Josep Guardiola lagi, yang artinya FCB tidak bermain tiki-taka lagi. FCB dilatih oleh Gerardo Martino, yang artinya FCB bermain sesuai keinginan Gerardo Martino. Dan hidup terus berjalan.

Mungkin kita semua harus menyalahkan kepada Nike yang membuat Hypervenom karena membuat Neymar terpeleset terus. Atau kita semua setuju akan menyalahkan gaya rambut Neymar? #YouDontSay





PRIMER EL BARCA!

1 komentar:

  1. Saya suka banget sama posts disini. Terus berkarya di dunia blog ya:)

    BalasHapus