KESALAHAN COMBO FC BARCELONA

Hasil buruk diraih FC Barcelona di musim ini. Bukan hanya hasil di dalam lapangan, namun di luar lapangan juga, dimana terlalu banyak hal eksternal yang mempengaruhi pikiran para pemain.
Kekalahan Barcelona di ajang final Copa del Rey pada Kamis (17/04) dini hari dari sang seteru Real Madrid membuktikan betapa buruknya performa Barca akhir-akhir ini. Tersingkir dari dua ajang (kemungkinan tiga jika ditambahkan dengan La Liga) berbeda menjadi pukulan telak membuka kebobrokan Barcelona.

Wait, kebobrokan? Yes, you read it right.

Keburukan yang paling mencolok adalah direksi sejak 2010 lalu kala dipimpin Sandro Rosell. Efek kepemimpinan Rosell menjadi bola salju di musim 2013/14. Atau simpelnya raihan musim 2013/14 merupakan buah dari mismanajemen Barcelona yang didasarkan pada ambisi pribadi Rosell untuk menjadi presiden tersukses sepanjang FC Barcelona, mengalahkan Agusti Montal i Galobart, Joan Laporta atau bahkan sang diktator asal Basque, Josep Lluis Nunez.

Sebetulnya sangat wajar jika Rosell ingin membangun warisan yang dapat dikenang. Ambisi pribadi tersebut sangat manusiawi. Namun kesalahan Rosell adalah tidak menempatkan orang yang tepat di posisi-posisi strategis. Padahal era Rosell adalah warisan dari kepresiden Joan Laporta yang membuat Barcelona dominan di dunia sepakbola. Andai Rosell bisa bijak (atau bermuka dua) dengan membuat Josep Guardiola bahagia di Barca, maka era Rosell akan lebih gemilang dibanding era Laporta. Memang, hal tersebut bukan jaminan karena sebuah era keemasan memiliki masa perputaran. Tidak ada yang abadi di dunia ini.

Pemilihan Andoni Zubizarreta sebagai direktur olahraga pun sebetulnya masuk akal. Zubiza mengenal dunia sepakbola sehingga dianggap cocok mengisi pos tersebut. Akan tetapi Rosell pun terlalu ikut campur dalam keputusan Zubiza.

Entah apa yang ada dipikiran Zubiza dengan membeli Alex Song. Mungkin kebutuhan tim (atau atas dasar permintaan Tito Vilanova) menjadi alasan pembelian Song. Pemain asal Kamerun ini mungkin rencananya diplot sebagai Xabi Alonso-nya Barca atau the next Yaya Toure di Barca. Entah. Namun harga yang mahal dan gaji yang tinggi tidak menjadi pembuktian terhadap performa Song. Dalam beberapa laga Song kurang bisa menyatu dengan para pemain Barca yang masih memiliki Pep-minded, sebagai mana fans Barca dan media massa asal Katalunya. Yang terjadi kemudian adalah Song kerap bermain di posisi yang bukan menjadi kebiasaan karena keterpaksaan atau kebutuhan mendesak tim. Ibaratnya, mobil Ferrari dipakai untuk mengangkut barang berat layaknya mobil pickup. Kan tidak sesuai peruntukan.

Neymar. Ugh. Superstar asal Brazil ini memang saya akui kehebatannya dalam mengolah bola. Yang saya sayangkan adalah proses awal kedatangan Neymar. Di kasus Neymar ini Rosell benar-benar mengambil peran pelatih dan direktur olahraga. Atas dasar mengamankan talenta muda seperti Neymar (dan saya curiga ada misi dari Nike untuk menyingkirkan pesaing beratnya, Adidas yang dipakai Lionel Messi), Rosell menggelontorkan uang muka kepada Santos dan dengan klausul-klausul yang merugikan Barca andai perjanjian pra-kontrak tersebut batal terwujud. Yes, pembelian Neymar bukanlah atas permintaan Tito Vilanova, lazimnya pelatih atau manajer meminta pemain kepada direksi. Bukti ini terlihat kala Tito menjalani pengobatan kanker di New York, Rosell menyempatkan diri datang ke Amerika untuk membahas Neymar.

Pengunduran diri Rosell setelah kasus Neymar menjadi bahan perbincangan publik di medio Januari lalu, menunjukan buruknya mental Rosell. Meski alasan keamanan keluarga menjadi alasan utama, namun publik sudah kandung menilai Rosell sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dengan memilih mundur disaat yang tidak tepat.

Pasca Tito mundur karena didiagnosis sakit kembali, Rosell harus mengambil keputusan cepat. Maka dipilihlah Gerardo Martino yang dikenalnya sejak dahulu. Tidak ada yang salah sebetulnya dengan pemilihan ini. Rosell merekomendasikan nama pelatih yang biasa disebut Tata ini kepada Zubiza untuk dipertimbangkan. Yang menjadi masalah adalah paradigma atau menjadi pemikiran dibawah alam sadar para suporter, media massa dan bahkan pemain jika metoda kepelatihan dan strategi Pep Guardiola adalah yang terbaik bagi Barca. Hal ini menciptakan pemikiran "filosofi" yang erat dikaitkan dengan strategi Guardiola. Padahal "filosofi Barca" tersebut adalah filosofi Guardiola, bukan Barca. Bisa dilihat era Rijkaard yang memiliki "filosofi Barca" berbeda. Juga perkataan Martino pasca kalah dari Real Madrid di final Copa del Rey 2014 yang mengatakan "Kami harus mempertahankan ide kami," yang merujuk kepada permainan Barca. Tapi jika melihat sejarah, filosofi Barca sesungguhnya adalah total football. Debatable memang.

Di awal musim 2013/14 kita melihat permainan pressure ketat dan permainan dari kaki ke kaki yang melekat di tubuh Barca. Akan tetapi seiring berjalannya waktu Barca seakan bermetamorfosis. Sempat bermain counter attack dan mementingkan hasil akhir dibanding penguasaan bola, yang kemudian dikritik oleh media massa dan suporter. Lalu berubah lagi menjadi permainan umpan silang yang ditujukan kepada pendeknya para pemain Barca. Bahkan Barca sempat bermain lob ball di pertengahan musim. Dari sini bisa diambil kesimpulan jika Martino masih belum menemukan formula yang pas bagi Barca. Kasarnya sih: iseng-iseng berhadiah dengan memainkan strategi coba-coba. Jika bisa menang dalam 10 laga, maka akan dipakai terus. Namun jika gagal dalam 10 laga, maka akan mencari strategi lainnya.

Wajar juga sih jika Martino melakukan eksperimen terhadap skuat Blaugrana. Namun permasalahannya adalah Martino terlalu keras kepala memainkan pola yang sama, setelah mengalami dua kekalahan beruntun sehingga menghasilkan kekalahan ketiga. Tiga kekalahan beruntun karena memainkan strategi umpan silang mubazir yang mengubah sejarah Barca dengan tersingkir dari Liga Champions, memiliki selisih empat poin di klasemen sementara La Liga dan dikalahkan Real Madrid di Copa del Rey. Bahkan seorang keledai pun tidak akan terperosok kedalam lubang yang sama dua kali.

Kekalahan tiga beruntun ini pernah terjadi juga di era kepresidenan Joan Gaspart di tahun 2003. Apakah Josep Maria Bartomeu akan menyalahkan seseorang, seperti Gaspart yang pernah menyalahkan Luis Figo karena kebebalan dirinya? Who knows.

Prestasi klub menjadi tanggung jawab pelatih dan direksi. Kekalahan di tujuh hari kebelakang ini membuat Barca beresiko mengalami nil gelar. Sebuah perjudian baru gaya Barca dengan memuluskan proyek Espai Barca ditengah skuat yang porak poranda dan terancam dicekal FIFA untuk transfer. Tanpa titel di musim 2013/14 dan tidak bisa aktif di bursa transfer di musim 2014/15 akan berimbas pada mega proyek Espai.

Espai dibangun menggunakan uang dari laba klub, ditambah dengan pinjaman dan sponsor. Bisa dibayangkan jika skuat Barca minim gelar karena mismanajemen dengan uang yang harus dikeluarkan direksi untuk membayar hutang dan membiayai proyek Espai. Salah-salah akan membawa FCB ke jurang kebangkrutan.

Saya tidak menakut-nakuti, namun itu adalah salah satu worst case scenario yang bakalan terjadi jika tidak ada perombakan di skuat, juga perubahan di level direksi sebagai decision maker.

Que sera sera.


PRIMER EL BARCA!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar