Saya selalu percaya jika setiap akibat merupakan hasil dari rentetan banyak sebab. Artinya, dibutuhkan banyak sebab sebelum menghasilkan akibat. Hal ini muncul karena kompleksitas kehidupan manusia yang saling terkait. Asumsi yang berlebihan, mungkin.
Akan tetapi asumsi saya tersebut bisa diterapkan pada FC Barcelona. Bagaimana segala sesuatunya saling berkaitan dan hasil akhirnya dilihat di lapangan hijau, tempat para pemain berjuang demi sebiji atau lebih gol. Dimulai dari keputusan-keputusan manajemen dalam hal finansial dan lainnya, pengaruh media massa, serta bagaimana sosok pelatih mencoba meraih sasarannya, menjadi lingkaran yang tidak bisa terputuskan. Saling mempengaruhi dan berkesinambungan.
Hasil imbang kala melawan Getafe pada jornada 15, bagi saya, membuktikan teori tersebut. Faktor keletihan usai mengalahkan Paris Saint-Germain di ajang Liga Champions dengan skor akhir 3-1, faktor ketergantungan kepada Messi dimana jika La Pulga tidak bisa bersinar maka Barca pun meredup (kala melawan Malaga, Real Madrid, Celta Vigo dan Getafe), serta faktor errr wasit. Saya akan bersenang hati jika ada yang menambahkan "dosa" di laga kontra Getafe tersebut. Tumpuk bom waktu sebelum meledak suatu saat nanti.
Ekspektasi suporter Barca memang tinggi. Menang 1-0 saja terkadang masih belum memuaskan. Kenapa hanya bisa menang dengan satu gol jika bisa mencetak hattrick atau la manita? Tidak semua beranggapan seperti itu, memang. Namun tetap saja ada yang memiliki opini merendahkan lawan. Kurang ajar kah? Well, adalah hal "normal" bagi klub sebesar Barca yang selalu memanjakan para suporternya melalui permainan indah dan keampuhan Messi. Tapi jika tidak bisa bermain seperti biasanya dan Messi meredup, kalian sudah tahu jawabannya apa.
Seperti saya singgung diatas, pengharapan suporter Barca memang tinggi. Maka tidak heran kala blaugrana kalah dari Paris Saint-Germain di pertemuan pertama Liga Champions, lalu kekalahan ketika melawan Real Madrid dan Celta Vigo di La Liga banyak suara sumbang bermunculan di jejaring sosial. Tagar #LuchoOut sempat menimbulkan riak, namun tidak mendapatkan respon yang besar dari penikmat FC Barcelona. Namun kemudian hasil imbang kontra Getafe memunculkan kritikan. Sampai-sampai Luis Enrique mengaku jika dirinya tidak mau mendengarkan kritikan yang muncul di media massa dengan alasan kesehatan.
"Saya belum sempat membaca kritikan (yang dilayangkan). Doktor saya melarang saya untuk membacanya," ujar Lucho pada konperensi pers usai pengundian babak 16 besar Liga Champions Eropa, seperti dikutip dari Marca.
Kritikan yang ditujukan kepada Lucho ini terkait penerapan taktik yang "tidak biasa." Bagaimana tidak, dalam 23 laga berbeda, Enrique menurunkan 23 lineup berbeda pula. Secara taktik pun Lucho kerap memainkan strategi yang berbeda ditiap laga. Jikalau rotasi yang diinginkan Lucho, dan ditambah perbedaan taktik, maka akan melambungkan tanda tanya yang besar. Apakah tidak ada fondasi pasti yang dimiliki oleh Luis Enrique? Apakah para pemain akan bisa beradaptasi dengan perubahan tiap laga? Apakah Luis Enrique masih meraba-raba di Barca? Dan jawabannya pun akan tumbuh secepat jamur di kaki yang berkeringat.
Kredibilitas Luis Enrique pertama kali dipertanyakan pasca kekalahan dari Real Madrid di La Liga. Mathieu yang bingung karena tidak mendapat penjelasan sebelum laga karena dimainkan sebagai full back, memainkan Xavi dibanding Rakitic, dan tidak adanya dialog antara Lucho dan para pemainnya dianggap sebagai faktor utama kekalahan tersebut.
Mengenai tidak adanya dialog di ruang ganti, hal ini diyakini karena Luis Enrique ingin semua pemain diperlakukan sama tanpa ada perbedaan. Sebetulnya ide Lucho tersebut bagus, namun bisa menjadi bom waktu seperti kala Frank Rijkaard, dimana para pemain malah membentuk kubu-kubu tersendiri karena "soft-spoken" Rijkaard. Pengendalian ego para pemain, secara adil dan seperlunya, atau komunikasi sangat penting agar ide bisa tersalurkan dengan baik dan tepat sasaran.
Sebetulnya hampir tidak pernah ada pemberitaan yang sensasional mengenai sikap sosial atau interaksi diantara pemain Barca. Seakan ada sikap omerta yang menaungi ruang ganti, kecuali Messi. Ya, Messi pernah diberitakan memiliki egoisme tinggi dengan membully Alejandri Grimaldo, Gerard Deulofeu, Cristian Tello, David Villa dan Alexis Sanchez pada 2013 lalu. Karena Messi adalah dewa penyelamat azulgrana, maka tidak perlu dijelaskan lebih lanjut mengenai sikap diam yang ada di tim.
Begitu pula dengan Xavi Hernandez yang pada beberapa laga awal La Liga tidak diturunkan, kemudian berani berbicara mempertanyakan keputusan Luis Enrique karena lebih condong memainkan Ivan Rakitic dan tidak pernah menurunkan dirinya. Sampai-sampai Andoni Zubizarreta pun turut serta membela Xavi. Tidak lama kemudian, Xavi pun bermain.
Egoisme yang berlebih di Barca ini sebetulnya sudah tercium di era Tata Martino. Selain pemberitaan mengenai Messi diatas yang muncul pada Agustus 2013, Xavi beberapa kali tertangkap kamera tidak puas dengan keputusan pelatih asal Argentina tersebut, meski dalam beberapa kesempatan membela Martino.
Secara strategi, saya menilai Tata Martino lebih mumpuni dibanding Luis Enrique. Jelas, kelas Martino merupakan pelatih kaliber timnas. Tercatat Martino pernah melatih timnas Paraguay dan sekarang mengarsiteki Argentina. Selain itu, Martino pun memiliki segudang pengalaman melatih bersama banyak klub. Meski bukan suatu jaminan, akan tetapi pengalaman sangat dibutuhkan dalam menangani beragam tipe pemain.
Apakah Martino gagal di Barca? Bisa disebut iya. Akan tetapi kegagalan Martino yang paling fundamental adalah tidak bisa memegang teguh prinsip sendiri. Terbukti, Martino mengubah strategi kala mendapat kritikan tajam usai Barca tidak pernah memenangkan penguasaan bola, meski hasil akhirnya menang. Perbedaan permainan Barca di paruh pertama dan paruh kedua menjadi bukti sahih bagaimana Martino tidak bisa bersikap. Mungkin Martino tidak percaya diri karena dirinya bukan pelatih asal Eropa, bukan manajer asal Spanyol atau memiliki darah keturunan Katalan, dimana kebanyakan suporter Barcelona di Katalunya (karena faktor media massa, mungkin?) lebih mengagungkan Katalisme.
Sama seperti kegagalan Martino di musim lalu, saya percaya jika andai Lucho gagal di Barcelona dikarenakan kesalahan kolektif dari direksi, pemain dan Lucho sendiri. Andai ketiganya seiya-sekata, maka akan memberikan hasil yang maksimal.
PRIMER EL BARCA!
Secara strategi, saya menilai Tata Martino lebih mumpuni dibanding Luis Enrique. Jelas, kelas Martino merupakan pelatih kaliber timnas. Tercatat Martino pernah melatih timnas Paraguay dan sekarang mengarsiteki Argentina. Selain itu, Martino pun memiliki segudang pengalaman melatih bersama banyak klub. Meski bukan suatu jaminan, akan tetapi pengalaman sangat dibutuhkan dalam menangani beragam tipe pemain.
Apakah Martino gagal di Barca? Bisa disebut iya. Akan tetapi kegagalan Martino yang paling fundamental adalah tidak bisa memegang teguh prinsip sendiri. Terbukti, Martino mengubah strategi kala mendapat kritikan tajam usai Barca tidak pernah memenangkan penguasaan bola, meski hasil akhirnya menang. Perbedaan permainan Barca di paruh pertama dan paruh kedua menjadi bukti sahih bagaimana Martino tidak bisa bersikap. Mungkin Martino tidak percaya diri karena dirinya bukan pelatih asal Eropa, bukan manajer asal Spanyol atau memiliki darah keturunan Katalan, dimana kebanyakan suporter Barcelona di Katalunya (karena faktor media massa, mungkin?) lebih mengagungkan Katalisme.
Sama seperti kegagalan Martino di musim lalu, saya percaya jika andai Lucho gagal di Barcelona dikarenakan kesalahan kolektif dari direksi, pemain dan Lucho sendiri. Andai ketiganya seiya-sekata, maka akan memberikan hasil yang maksimal.
PRIMER EL BARCA!
Kemampuan Tata Martino termasuk hebat dengan 2 kali menang atas pelatih sekaliber Ancelotti dan di El Clasico pula..
BalasHapus