PEP vs RIJKAARD; THE NOT-THAT-COMPLETE COMPARISON

Barcelona, sebuah klub dengan tradisi serta dogma yang cukup kuat. Memiliki arti dan filosofis tersendiri yang mungkin membuat beberapa orang heran, bingung sekaligus kagum. Mes que un club, lebih dari sekedar klub. Lambang akan perjuangan dan kerja keras. Banyak harapan tersematkan kepada klub yang berdiri sejak tahun 1899 ini.
Segala sesuatu berangsur membaik di akhir millenium sejak kedatangan pemain dan pelatih asal Belanda yang bermain dengan sistem Total Football. Sebuah sistem yang akan mendarah-daging di Barcelona dan menjadi semacam kontra dari sistem anti-football yang diperkenalkan pelatih kenamaan asal Portugis.

Ketika era Joan Gaspaart berakhir pada 2003 setelah raihan buruk tim setelah di arsiteki Luis van Gaal jilid II, Joan Laporta mencalonkan diri sebagai presiden Fc Barcelona. Dengan meminta dukungan kepada Johan Cruyff, Laporta mendapat suara terbanyak dan menjadi presidan klub. Cruyff, mendapat jabatan tidak resmi sebagai penasihat Laporta atas dukungannya pada pemilihan. Bisa di bilang semua keputusan Laporta dalam urusan olah raga bersumber kepada Cruyff. Pemilihan pelatih, susunan pemain serta strategi apa yang di gunakan, secara tidak resmi bersumber kepada Cruyff. Entah benar atau tidaknya dugaan saya tersebut, tetapi terlihat jelas ketika Laporta menjabat sebagai presiden klub, skema permainan Barcelona menjadi lebih Total Football. Dan memang ada hubungan baik antara Laporta dengan Cruyff, sehingga Cruyff mendapat jabatan presiden Kehormatan dari Laporta. Dan era Belanda-nisasi pun mulai. Dari sisi kepelatihan dan strategi.

Pep vs Rijkaard

Frank Rijkaard dengan Josep Guardiola, adalah pelatih yang memiliki ciri khas tersendiri. Meski kedua pelatih yang pada masanya termasuk dalam pemain hebat, memiliki akar yang sama. Sangat wajar jika menganut sistem yang hampir mirip. Rijkaard yang pada awal karir di Ajax Amsterdam di arsiteki oleh Johan Cruyff, seperti faham betul skema permainan yang di ciptakan oleh Rinus Michels. Torahan Rijkaard dan Cruyff pun sangat cemerlang dengan tropi KNVB di tahun 1986 dan 1987, serta piala Winner 1987.
Pun Pep yang ketika di Barcelona pada musim 1990/91 tetapi menjadi pemain inti pada musim 1991/92, mendapat kepelatihan dari Cruyff. Pep masuk dalam jajaran The Dream Team Barcelona di tahun 1992/93.
Bisa di bilang kedua pelatih hebat ini yang pada masanya menjadi pemain, pernah mendapat didikan dari pelatih yang sangat kental dengan Total Football-nya.

Rijkaard memang memakai formasi yang sama seperti dianut oleh Pep (4-3-3), namun memakai sistem Total Football yang berbeda. Rijkaard memakai hampir murni Total Football dan hanya memberi keleluasaan kepada Ronaldinho. Permainan passing di bawah kepelatihan Rijkaard lebih "flamboyan", lebih indah di lihat akibat Ronnie. Setiap serangan akan di mulai dari Ronaldinho, bukan Xavi. Presentase kemenangan Rijkaard sebanyak 59%, berbanding dengan Pep yang memiliki presentase sebanyak 73% dengan 80% raihan tropi.

Koparasi keduanya sangat tidak masuk akal, meski mungkin rekor Pep lebih baik dan masih dalam masa kepelatihan di Barcelona. Jika dilihat, kedatangan Rijkaard ketika itu dalam keadaan (bisa dibilang) "hancur". Tidak pernah memenangkan satu tropi pun sejak 1999, politik manajemen yang agak "rumit" serta kompetitor yang lebih mumpuni dibanding Barcelona. Real Madrid ketika itu diisi oleh pemain-pemain hebat, seperti Zidane, Becks, Raul.
Sukses memboyong gelar La Liga di musim keduanya pada tahun 2004/05 dan di musim 2005/06 serta title juara Liga Champion Eropa musim 2005/06. Sangat keterlaluan jika raihan Rijkaard tersebut dianggap sebelah mata. Bisa dibilang, Rijkaard seperti memberi fondasi selanjutnya setelah diisi oleh Cruyff sistem Total Football untuk Barcelona yang kemudian akan di sempurnakan oleh Pep.

Pep, bisa dibilang makan, minum dan tidur di Barcelona. Mengenal setiap hal di Barcelona. Bermain di tim utama The Dream Team Barcelona medio 90-an yang di asuh oleh Cruyff, membuat dirinya hafal akan strategi Tottal Football. Beberapa perbaikan dari sistem tersebut, maka munculah Barcelona era Messi.
Rijkaard pada masanya jarang memberi pujian terhadap pemain. Meski pemain tersebut berkontribusi besar.

Rijkaard memberi keleluasaan bagi Dinho dalam mengkreasikan setiap serangan, sama seperti Xavi sekarang, namun lebih bebas dibanding Xavi. Beberapa passing signature Dinho benar-benar sangat memanjakan mata dan para barisan penyerang Barcelona.
Sedangkan Pep, lebih bermain disiplin dalam penguasaan bola serta disiplin dalam pressing serta mengandalkan Xavi dan Iniesta. Berbanding terbalik dangan Rijkaard yang lebih mengandalkan Dinho semata. "Persatuan" Xaviesta tidak akan menyamai Dinho - Deco atau mungkin Dinho - Messi. Semua orang tahu bahwa Xavi dan Iniesta itu seperti "soul-mate". Kebebasan dalam bermain hanya diberikan Pep kepada Lionel Messi, tetapi bukan dalam sisi membangun serangan. Messi sering kali bermain individual, berbanding terbalik dengan Xavi, Iniesta atau Ronaldinho yang selalu bermain passing.

Jika Pep melatih sebelum era Rijkaard, saya sangat sangsi Pep akan segemilang sekarang. Terlepas dari raihan piala, setiap pelatih memberikan ciri khas tertentu pada tim Barcelona, sama seperti sir (RIP) Bobby Robson yang bermain dengan skema berbeda (4-4-2). Setiap pelatih mendapat kredit tersendiri atas kontribusinya masing-masing.