Oleh karena kefanatisme-an yang menggelikan, saya sengaja untuk membuat blog ini. Secara garis besar blog ini dimaksudkan untuk memberi opini dan pengetahuan mengenai Fc Barcelona. Namun dengan seiring berjalannya waktu, saya tergelitik untuk membahas isu-isu sepakbola yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan Fc Barcelona. Menurut saya ini cukup penting agar kita bisa mengambil pelajaran dari pengalaman klub lainnya.
Perbandingan antara dua klub akan selalu ada. Wajar, karena hal itu berkaitan dengan ego fans terhadap klub yang dicintainya. Saya tidak menyalahkan fans yang bersikap seperti itu, namun saya lebih suka berbicara mengenai kelebihan dan kekurangan klub yang saya cintai, Fc Barcelona, apa adanya. Saya pikir semua kontent blog saya ini mencerminkan pendirian saya.
Karena saya mencintai Fc Barcelona, kali ini saya ingin mencoba menganalisa kegagalan sang rival abadi, Real Madrid sepanjang kepelatihan Jose "The One" Mourinho. Well, sebelum membaca opini saya dibawah, perlu saya ingatkan jika artikel ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan Real Madrid, namun sebagai pembanding. Perlu diketahui, saya dulu adalah fans Real Madrid sebelum era Galacticos-nya Lorenzo Sanz. So basically, saya hanya ingin cules untuk membuka mata karena ada kemungkinan apa yang Real Madrid pernah rasakan, akan atau sedang dirasakan pula oleh Fc Barcelona.
Kedatangan Jose Mourinho pada pertengahan tahun 2010 lalu memberi semacam angin segar bagi para madridista yang gerah dan iri dengan kesuksesan Pep Guardiola meraih 6 piala dari 6 kompetisi berbeda di sepanjang tahun 2009. Pun di musim kompetisi 2009/10 Real Madrid dibawah asuhan Manuel Pellegrini bisa dibilang sebagai kegagalan yang memicu Florentino Perez untuk memutar otak agar bisa meredam kedigdayaan Fc Barcelona. Pilihan Perez jatuh kepada Jose Mourinho. Sebuah kesalahan yang harus dibayar mahal dengan ratusan juta euro dan hal yang tidak bisa dibeli oleh semua uang yang ada di dunia, yaitu harga diri.
Pelatih Kharismatik? |
Jika kita telaah lagi, alasan pemilihan Jose Mourinho sebetulnya cukup simpel, yaitu kebencian terhadap Fc Barcelona. Sudah menjadi rahasia umum jika Mourinho di Inter Milan sangat membenci Fc Barcelona dibawah asuhan Pep Guardiola. Sebuah kebencian pribadi The One yang diwujudkan dengan cara menggunakan klub yang dinaunginya. Kebencian yang timbul atas penolakan Fc Barcelona menggunakan jasanya di medio tahun 2008. Sebuah harga diri yang terluka, dan Real Madrid sadar akan hal ini. Peribahasa "Musuhnya musuh, adalah teman kita" sepertinya dipakai dengan baik oleh uncle Flo.
Banyak tradisi dan kebijakan Real Madrid yang dilanggar oleh Jose Mourinho. Tingkat rivalitas yang tinggi dengan Fc Barcelona, membuat Florentino Perez menutup mata atas semua hal yang dilakukan oleh The One. Bagi Perez, terserah Mourinho ingin melakukan apa saja yang penting bisa menghancurkan dominasi Barca dan Perez akan selalu mendukung Mourinho dari belakang untuk membersihkan segala kekacauan yang dibuat oleh Mourinho. Sebuah kepercayaan terbesar yang diberikan presiden Real Madrid kepada seorang pelatih, sepanjang sejarah Real Madrid dan Jose Mourinho memakai kepercayaan tersebut secara sembarangan!
Setiap klub memiliki filosofi, pegangan atau identitas berbeda dengan klub lainnya. Pun klub-klub di Spanyol yang masih kental dengan tradisi, Real Madrid mempunyai hal yang sama, yang bernama senorio yang artinya berkelas. Real Madrid yang bermarkas di ibukota Spanyol ini bisa dibilang sebagai klub kelas menengah keatas. Klub favorit golongan si kaya dan si mapan dari kota Madrid. Berbeda dengan Fc Barcelona yang lebih condong ke klub si tertindas dan si miskin, serta Atletico Madrid sebagai si tersingkir dan si buruh. Cara pandang ini terbentuk dari rentetan sejarah yang sangat panjang dan hal ini yang membuat banyak orang percaya bahwa Real Madrid didukung oleh Jenderal Franco.
Sama seperti motto "mes que un club"-nya Fc Barcelona bagi cules, senorio Real Madrid menjadi motto atau pegangan bagi banyak madridista. Sebuah motto yang menggambarkan kebesaran klub, dan Jose Mourinho menghancurkan pegangan tersebut dengan selalu meributkan banyak hal di media massa. Soal keberpihakan wasit lah, soal konspirasi media massa yang ingin menghancurkan karirnya lah, soal superioritas dirinya diatas klub lah. Padahal sudah menjadi pakem umum para penikmat sepakbola jika tidak ada pemain, pelatih, presiden atau pemilik klub yang lebih besar dibanding klub itu sendiri sebagai institusi. Singkat kata: Jose Mourinho membawa Real Madrid menjadi pesakitan yang selalu meributi hal-hal kecil.
Adding salt to the wound, Jose Mourinho cenderung bermain negative football kala bersua dengan tim-tim besar lainnya. Meski permainan negative football bukan suatu cara licik atau tindakan yang melanggar peraturan FIFA, akan tetapi sebagai klub besar yang memiliki ciri khas sebagai senorio, taktik Mou menjadi aib tersendiri bagi madridista. Sama seperti Fc Barcelona yang lebih baik kalah dengan filosofi sendiri dibanding menang dengan cara lainnya, madridista pun beranggapan lebih baik Real Madrid kalah dengan melakukan permainan atraktif dan menyerang, dibanding menang tapi parkir bus. Well, di poin ini taruhannya hanya harga diri dan kehormatan klub atau kemenangan. Silahkan pilih sendiri.
Sebetulnya saya heran dengan penerapan strategi Jose Mourinho ini. Dengan materi pemain-pemain mahal yang sanggup dibeli oleh Florentino Perez, Mou seakan tidak percaya diri dengan menerapkan strategi negative football. Lebih dari itu, para pemain mahal yang menjadi tulang punggung di klub sebelumnya, ketika menjadi pemain Madrid, mereka lebih sering menjadi penghangat bangku cadangan. Bahkan ada beberapa pemain yang jarang masuk daftar pemain cadangan. Heran.
Penggunaan strategi yang kurang populer dimata penikmat sepakbola ini membuat sosok Mou kurang harmonis dengan para pemainnya. Kompatriot Mou, Ronaldo pun tidak menyukai strategi negative football ini di suatu wawancara. Oleh karena itu, perang statement antara Mou dengan Ronaldo baru-baru ini seperti sebuah bom yang meledak setelah sekian lama ditutup-tutupi. Parahnya, pertengkaran dengan Iker Casillas dan Sergio Ramos membuat suasana kamar ganti menjadi terbagi dalam beberapa kubu.
Siapa yang masih ingat kasus dicoretnya Iker dari lineup karena konflik pribadi antara Iker dengan Mou? Heck, Iker itu seorang calon legenda Real Madrid. Seorang madridista sejati yang selalu dielu-elukan publik Santiago Bernabeu. Dengan dicoretnya Iker, maka kritik pun berdatangan kepada Mou dan Perez. Tidak kurang dari harian Marca yang selama ini pro terhadap segala kebijakan Real Madrid selalu menurunkan berita-berita yang menyudutkan Si Putih. Selain itu, Xavi Hernandes yang merupakan sahabat Iker pun turut membela Iker dan senorio Real Madrid. Opini Xavi tersebut didasari oleh buruknya mentalitas para pemain Madrid kala bertanding di el clasico. Sebuah tamparan keras bagi kubu Real Madrid karena mendapat dukungan dari pemain tim rival.
Tekanan media massa ini tidak dihadapi dengan lapang dada oleh Mou. Mou malah membuat suasana menjadi keruh dengan mengancam salah satu wartawan. Untungnya Perez bisa bersikap logis dengan memberhentikan Jose Mourinho dari jabatannya sebagai pelatih kepala El Merengues di akhir musim 2012/13.
Andai saja Florentino Perez bisa bersikap rasional dan menjauhkan sikap ketidak-sukaannya kepada Barca dalam pemilihan pelatih, maka Perez tidak perlu bersusah payah membersihkan nama baik klub dari segala tindak tanduk Mou. Selain itu, Perez harusnya sadar jika Mou tidak memiliki histori yang kurang baik dalam penggunaan pemain akademi. Regenerasi pemain di Porto, Chelsea dan Inter seakan mandeg kala diarsiteki Mou. Jika ide awal pemilihan Mou adalah untuk kemenangan dan piala semata (short term winning), maka Mourinho adalah jawaban yang tepat. Dan memang, bagi Florentino Perez sepertinya ide Galacticos seakan menjadi jawaban atas target La Decima.
Miskonsepsi seperti ini seakan didukung oleh motto senorio mereka. Pemain terbaik, yang pasti berharga dan bergaji mahal, harus dimiliki oleh klub yang terbaik pula, yaitu Real Madrid. Ada semacam ego dan kesombongan disitu. Padahal harusnya Perez dan madridista faham jika Fc Barcelona yang diisi perpaduan antara para pemain akademi dan pemain non akademi, serta keteguhan dalam memegang filosofi permainan lah yang membuat Barca superioritas. Kesuksesan para pemain akademi di Barca sebetulnya pernah terjadi di Real Madrid di pertengahan tahun 80an dengan nama "Quinta Del Buitre".
Quinta Del Buitre adalah sebutan kepada skuad Real Madrid di era keemasan pertengahan tahun 1980, yang dipilari oleh 5 pemain lulusan akademi. Emilio Butragueno, Manolo Sanchis, Martin Vasquez, Michel dan Miguel Pardeza. Jika ditilik lebih jauh, Fc Barcelona seakan meniru ide Madrid dengan lebih condong menggunakan pemain akademi. Apakah murni menggunakan pemain akademi adalah jawabannya? Tidak. Sejarah membuktikan jika perpaduan antara pemain akademi dan non akademi secara berimbang sukses membuat kedua klub ini meraih kesuksesannya masing-masing di eranya.
Kepercayaan Florentino Perez jika kebijakan royal terhadap pembelian pemain terbaik bisa membawa gelar La Decima bagi Real. Namun apa yang terjadi? Kebanyakan pemain tersebut flop.
Luka Modric dibeli dari Tottenham Hotspurs seharga 26,5 juta euro pun kurang memberi perubahan signifikan kepada raihan Madrid. Sering menjadi pemain pengganti dan diplot sebagai pemain multi posisi, pembelian Modric dianggap oleh pengamat sepakbola sebagai kegagalan terbesar Jose Mourinho. Begitu pula dengan sosok Altintop dan Coentrao. Serta Pepe yang lebih sering dianggap sebagai perusak keindahan permainan Real Madrid dan jagal lini belakang Real Madrid, dibanding sebagai seniman sepakbola. Oh ya, jangan lupa juga kepada sosok Ricardo Kaka.
So, bisa diambil kesimpulan kenapa Fc Barcelona bisa mendominasi liga Spanyol kala Jose Mourinho menjadi arsitek Real Madrid. Karena Mou gagal mendapatkan piala, karena Mou gagal secara strategi, karena Mou gagal untuk image klub dan image dirinya, karena Mou gagal dalam soal transfer, dan karena Mou gagal dalam keharmonisan suasana kamar ganti pemain. Intinya adalah Jose Mourinho gagal!
Bukti Jose Adalah Cule? |
Hmm... Ada sebuah fakta menarik dari kegagalan Jose Mourinho ini. Pada awal tahun 2000an, Jose Mourinho pernah mengeluarkan statement jika dirinya fans Barca (yo soy cule) dan andai dirinya menjadi pelatih Real Madrid suatu saat nanti, maka Jose akan membawa Real Madrid ke ambang kehancuran. Sikap Jose ini diucapkan kala dirinya menjadi assisten pelatih Lous Van Gaal. Pun di era tersebut Pep Guardiola yang masih aktif bermain pernah membela Jose dan memang keduanya berteman dekat layaknya sahabat. Kedekatan keduanya tercipta karena Jose di musim 1996/97 adalah defending coach sekaligus penterjemah, sebelum akhirnya menjadi assisten pelatih Van Gaal di tahun 1997. Fakta unik lainnya, di akhir musim 1996/97 kala Barca dibawah asuhan Sir Bobby Robson (RIP) sukses memenangkan piala Winners Cup, Jose pernah berucap bahwa Barca akan selalu ada di hatinya. Jose mengucapkan kalimat tersebut dihadapan ribuan cules.
Jika memang Jose berteman baik dengan Pep dan memproklamirkan dirinya sebagai fans Barca, lalu kenapa Jose seakan selalu menjadi duri dalam kesuksesan Barca? Simpel, karena Jose terlalu mendalami psy-war dan kesakit-hatiannya kala ditolak menjadi pelatih Barca.
Jose telah menjadi sosok kontroversial bagi kubu Fc Barcelona. Sosok Judas dan public enemy. Namun saya tidak melihat hal ini terjadi juga di kubu Real Madrid. Seperti yang sudah saya tulis di atas, kearoganan Real Madrid dan fans Madrid telah membutakan sikap objektifitas. Saya secara pribadi menyebut madridista dan cule kepada fans masing-masing klub, hanya kepada yang bisa bersikap objektif dan jauh dari fanatisme. Diluar itu, saya meragukan loyalitas fans kedua klub tersebut karena saya beranggapan semakin kita bersikap objektif dan mengetahui lebih dalam tentang klub yang kita cintai, maka kita akan semakin loyal.
PRIMER EL BARCA!
analisanya keren, thanks gan, banyk hal yang belum ane tahu tentang bola ane temukan di sini....
BalasHapusGracies ya. :)
HapusRajin-rajin lah cek artikel terbaru saya. Kalau ada hal yang kurang dimengerti atau ada kesalahan di tulisan saya, silahkan kasih tahu saya di twitter atau disini. :)
apik sekali ulasannya andai semua fans sepak bola berpikiran demikian mungkin akan indah dunia sepak bola namun itu tidak mungkin terjadi karena adanya sebuah prop yg bernama "fanatisme", lagi pula klw fanatisme itu tidak ceritanya mungkin kurang seru. tapi satu yg harus dijunjung tinggi ada kata respect & sportif di dalam kata fanatisme tersebut...
BalasHapus