PRAGMATISME TATA VS KEKERAS-KEPALAAN CRUYFF

Tanggal 28 Okober merupakan hari bersejarah dalam perjalanan Indonesia, karena pada tanggal tersebut diperingati Hari Sumpah Pemuda. Sebuah ikrar persatuan dan kesatuan para pemuda Indonesia yang mempertaruhkan kebebasan dan nyawa mereka karena masih dalam bayang-bayang penjajahan Belanda. 
Tanggal 18 Oktober pun diperingati sebagai 'Cruyff Day' bagi penganut filosofi Cruyffisme. Di tanggal itu lah sang legenda sepanjang masa FC Barcelona menginjakan kakinya di Estadio del FC Barcelona yang kemudian berganti nama menjadi L'Estadi Camp Nou

Kenapa saya menyebut Cruyff Day? Apa yang begitu spesial dari opa keras kepala dan kadang tidak nyambung jika diajak bicara ini? Bagi FCB, banyak warisan yang diberikan kepada Johan Cruyff. Bahkan mantan presiden Joan laporta pernah berkata jika seluruh fans FCB mengabdikan seluruh hidupnya untuk Cruyff, maka tidak akan bisa membayar atas apa yang telah Cruyff berikan ke Barca. 

Memprakarsai akademi La Masia, mempersembahkan frasa populer La Manita di Santiago Bernabeu, meraih Champion Cup pertama bagi FCB, turut serta membangun ulang FCB dari apa yang tersisa di tahun 2003, serta memberikan ide atau filosofi permainan kepada para mantan pemain FC Barcelona seperti Pep Guardiola, Luis Enrique, Michael Laudrup, Frank de Boer dan banyak lagi. Masih kurang kah jasa yang kurang baik dari seorang Cruyff? 

Harus saya akui jika Laporta tidak bisa lepas dari Cruyff. Oleh karenanya, saya tidak heran jika ketika Rosell mengundurkan diri dari kursi wakil presiden FCB di bawah kepemimpinan Laporta dan menulis surat terbuka untuk Cruyff, serta menjatuhkan citra Cruyff di kampanye pemilihan presiden 2010, Sandro Rosell kemudian mencabut gelar presiden kehormatan yang disematkan kepada Cruyff dan seakan membuang semua pengaruh Cruyff-isme ditubuh FCB. Simpel sih. Sandro Rosell ingin menciptakan legacy atas nama dirinya, dibanding mengikuti apa yang sudah ada. Egois atau tidaknya, silahkan pembaca untuk mentela'ah lagi. 

Berbicara mengenai warisan Cruyff, ada 1 hal yang bisa dibilang 'haram' atau tidak lazim dilakukan oleh FC Barcelona, yaitu penggunaan double pivot alias 2 DMF. Menurut penganuf faham Cruyff-isme yang kemudian diterjemahkan sebagai tiki-taka oleh Pep Guardiola, double pivot akan mengurangi serangan bagi lini depan dan membuat seorang pemain menjadi sia-sia. 

Salah satu contoh terdekat dari penggunaan double pivot adalah Real Madrid di era Jose Mourinho atau di timnas La Furia Roja. Xabi Alonso di Madrid menjadi penyuplai bola lambung kedepan. Begitu pun dengan di timnas Spanyol. Ketika timnas Spanyol 'menerapkan' tiki-taka, peran Xabi menjadi tidak terpakai karena tiki-taka mewajibkan penganutnya untuk bermain bola datar dan melarang keras bola lambung. Dari asal muasalnya di awal abad 19, permainan yang kemudian menjadi populer dengan sebutan tiki-taka ini pun didasari kecil/pendeknya fisik sang pelaku melawan fisik lawan yang besar dan atletis. Menurut opa Cruyff, ini adalah "Keuntungan dalam hambatan (advantage in disadvantage)."

Para Penganut Cruyff-isme
Beragam maksud penggunaan 2 DMF. Rata-rata adalah untuk mengatur supply bola (deep play-maker) dan pertahanan (anchor). Bisa juga box-to-box, untuk man-mark atau lainnya.

Dalam list persyaratan pelatih FCB yang dirilis tahun 2003 dan 2008, di salah satu poin tercantum bahwa calon pelatih haruslah memahami dan menguasai skema 4-3-3. Pelatih dilarang memakai skema yang lain. Alasannya, ya itu tadi, Cruyff-isme. 

Akan tetapi poin diatas berubah kala Tata Martino dipertandingan el clasico menerapkan double pivot ketika memasukan Alex Song. Pemain asal Kamerun ini menggantikan Andres Iniesta di menit 77. Sangat tidak mungkin jika Tata memiliki ide gila dengan memainkan Song sebagai AMF. Tata sendiri akhirnya mengakui jika alasan memasukan Song adalah untuk mempertahankan kemenangan yang sudah ada didepan mata. Waktu itu Barca unggul 1-0 atas Real Madrid sebelum akhirnya Alexis Sanchez menambahkan keunggulan di menit 78. 

Saya sudah menulis di artikel-artikel sebelumnya dan memposting di Twitter jika Tata adalah pelatih dengan tipe resultist dan pragmatis. Berbeda dengan Pep Guardiola, Johan Cruyff, Frank Rijkaard atau Tito Vilanova yang keukeuh memainkan strategi yang sama meski dalam keadaan unggul atau tertinggal. Ya setidaknya para pelatih kenamaan tersebut masih menerapkan basic-nya masih sama. Menurut bahasa awamnya sih Tata lebih adaptif terhadap perkembangan permainan dan strategi lawan.


Lalu apakah salah jika kemudian Tata menerapkan double pivot? Jika kamu adalah penganut faham Cruyff-sime garis keras, tentu saja akan berkata 'iya'. Para penganut faham Cruyff-isme dan Guardiolisme yakin dan percaya jika Barca harus memainkan short passes dan possession football, serta akan memprotes habis-habisan penggunaan strategi Tata seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. Jika kamu berkata bahwa 'tidak', berarti kamu setuju jika Tata hampir mirip dengan Jose Mourinho yang juga mementingkan hasil akhir. Bingung kan?

Berani saya bilang jika Tata (atau dalam hal ini Sandro Rosell karena menunjuk Tata) mengubah wajah FC Barcelona. Berani mengganti dan merotasi pemain superstar dan pemain inti, penggunaan double pivot, minimnya kontribusi Xavi dalam hal passing, menurunnya prosentase penguasaan bola, penggunaan strategi counter attack dan memainkan Messi di wing kanan sehingga terkesan 'invisible' adalah hal yang baru bagi Barca. Selain itu, Xavi dan Iniesta lebih sering bertukar posisi membuat keduanya lebih dinamis namun minim assist. Sergio Busquets yang sering turun menjadi center back ketika Pique atau Bartra overlap bukanlah hal yang baru. Pep pernah memakai strategi itu. Begitu pula eksplosivitas Dani Alves kian menajam setelah di musim 2012/13 agak kurang baik.

Kembali ke pembahasan double pivot. Apakah bisa Barca menerapkan double pivot? Bisa. Alex Song biasa bermain long ball kedepan kala di Arsenal. Ketika Tito membeli Song, saya malah menyangka Barca akan bermain long ball. Namun sangkaan saya salah kala Song lebih sering berperan sebagai CB dan percakapan antara kubu Barca dengan Arsene Wenger ketika menawar Song tersebar luas.

Alex Song, Francesc Fabregas, Javier Mascherano dan Gerard Pique bisa dibilang sudah terbiasa dengan long ball kala keempatnya masih bermain di EPL. Di musim ini saja Mascherano dan Pique adalah penyuplai long ball dengan rasio akurasi 7,1 dan 6,3 di tiap pertandingan liga yang mereka lakoni. Presentase tinggi ini tentu saja sangat erat hubungannya dengan seringnya mereka menjadi starter. Song hanya melakukan 1 kali long ball dari 3 kali starter dan 1 kali pemain pengganti. Rasio Song ini sama seperti rasio yang dimiliki oleh Carles Puyol. Mengherankan memang. Namun statistik bukan lah patokan wajib karena banyak faktor yang mempengaruhi nilai statistik tersebut. 

Akan saya ulang lagi perkataan saya diatas bahwa "Untuk menjaga keunggulan, Tata tidak segan untuk memakai double pivot". There you have it. 

Saya adalah pengidola Johan Cruyff. Bagi saya, Cruyff seperti dewa yang tidak diakui di Barca. Akan tetapi jika saya berkata bahwa strategi Tata tidak menarik dan menggelitik untuk digali lebih dalam, maka akan menjadikan saya seorang pembohong dan munafik. Tata seakan menimbulkan kembali selera keingintahuan saya akan penerapan strategi. Menang atau kalah, saya tidak begitu peduli. Namun cara di 90 menit pertandingan yang menjadi perhatian saya. Cruyff banget ya? 




PRIMER EL BARCA! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar