Impian Besar Dan Pengubahan Cara Pandang Suporter Atletico Madrid

Andai kita melihat tabel klasemen sementara La Liga dengan adanya nama Atletico Madrid diposisi satu, sedangkan raksasa Spanyol Real Madrid dan FC Barcelona berada dibawahnya, maka akan timbul rasa ketakjuban. Terutama bagi fans sepakbola yang jarang melihat La Liga atau tim La Liga lainnya.
Bagaimana mungkin Rijoblancos bisa berada diposisi pertama dengan selisih empat poin dengan FC Barcelona dan enam poin dengan Real Madrid yang masih menyisakan satu pertandingan?
Jangankan suporter klub-klub liga lainnya atau fans dari klub La Liga lainnya, bagi seorang suporter Atletico Madrid pun hal tersebut bisa dibilang sebuah mimpi. Bahkan mimpi ini lebih besar daripada impian Liverpundlian menjuarai EPL.
Bagi seorang suporter Atletico Madrid, pesimisme menjadi santapan rutin di tiap musimnya. Sebuah pesimisme yang diiringi ekspektasi konstan, tanpa berlebihan. Unik memang.
Fans EL Indios sadar, jika mereka underdog, baik itu di kota Madrid sendiri (derbi madrileno) atau di tingkat Spanyol. Bisa masuk ke level Eropa merupakan prestasi yang bisa dibanggakan, meski bagi suporter tim besar lainnya, hal tersebut bukan hal yang aneh.
Pemikiran ini terbentuk dari perjalanan sejarah Atletico Madrid yang selalu termarginalkan oleh dominasi Real Madrid dan kecemburuan kedekatan Jendral Franco dengan Los Blancos. Sebuah iri hati yang muncul setelah Jenderal Franco memakai Real Madrid sebagai simbol kejayaan Spanyol di Eropa, padahal sebelumnya Atleti (yang pada waktu itu bernama Athletic Aviacion de Madrid) merupakan klub yang diisi tentara-tentara Angkatan Udara. Bukan suatu kebetulan jika Jenderal Francisco Franco berasal dari Angkatan Udara pula.
Di perayaan centenary Los Choloneros bahkan tercipta sebuah lagu dari Joaquin Sabina yang berjudul Que Manera de Sufrir atau yang berarti Cara Menderita, yang menggambarkan suka-duka (namun liriknya kebanyakan diisi kata-kata duka) menjadi suporter Atletico. Fernando Torres pun mengatakan jika dirinya menyukai kepahitan dalam mendukung Atleti kala dirinya masih remaja. Padahal rata-rata anak remaja Madrid waktu itu menjadi fans Real Madrid. Tidak salah jika nama lain dari Atleti adalah El Pupas, yang berarti Yang Selalu Sial.
Dengan latar belakang seperti itu, maka sangat wajar jika Diego Simeone dan para pemain Atleti selalu berkata jika suporter adalah pemain ke-12. Keberhasilan Atleti dalam enam musim terakhir masuk ke zona Eropa dan menjadi juara Super Eropa dan Europa League, serta menjuarai Copa del Rey 2012/13 dengan mengalahkan Real Madrid yang tidak pernah bisa dikalahkan Atleti sejak musim 1999/00, menjadi alat yang ampuh untuk mengubah cara pandang suporter.
Apalagi laga semi-final Liga Champions melawan Chelsea ini adalah raihan tertinggi Rijoblancos di UCL, juga kans besar menjuarai titel La Liga. Terakhir kali Atleti juara La Liga terjadi di musim 1995/96. Sedangkan prestasi tertinggi Atleti di Liga Champions terjadi di musim 1973/74 yang tumbang di babak semifinal. Sebuah penantian dan impian yang sangat teramat lama.
Prestasi positif di beberapa musim terakhir ini bisa menjadi modal bagi suporter Atleti untuk berbangga hati dan melupakan cara pandang pesimisme akut mereka. Diego Simeone yang mengambil tongkat estafet almarhum Luis Aragones untuk mengubah cara pandang suporter melalui prestasi, memiliki kesempatan untuk memberikan sedikit harapan kepada Rijoblancos. Sebuah senyuman kecil dari seberang sungai Manzanares yang membelah kota Madrid. 

3 komentar: