Derbi i Barceloni; Permusuhan yang Tidak Kunjung Padam

Ah, iya. Pertandingan antara FC Barcelona kontra RCD Espanyol membuat saya harus berfikir ulang jika pertemuan keduanya lebih seru dibanding el clasico. Saya selalu mencoba menempatkan pemikiran tersebut di otak saya, entah bagaimana caranya. Beragam alasan seketika muncul jika membayangkan pertemuan kedua klub asal kota Barcelona ini, dan disaat yang sama, saya membandingkan dua laga berbeda namun serupa, derbi i Barceloni dan el clasico. 


Derbi i Barceloni dan el clasico adalah dua laga yang sama pentingnya, namun berbeda level. Bagi FC Barcelona, el clasico adalah sebagai medium untuk menunjukan penguasa ranah Spanyol. Dua klub yang satu tipe dan satu level, pun memiliki ego yang sama besar dan rivalitas keduanya diasah oleh sejarah, media massa, gossip dan perbedaan pandangan politik. 

Sedangkan pertandingan derbi Barceloni layaknya laga penasbihan penguasa Barcelona, dimana Barca memang sudah menguasai kota di Tenggara Spanyol tersebut. Namun tidak dengan sang lawan, Espanyol. Di tahun-tahun pertama keduanya berdiri, kedua klub saling sindir, saling iri dan saling menjatuhkan. Bahkan sampai saat ini, dimana sepakbola menjadi komoditas industri globlal. 

Sebetulnya, lawan yang mengancam popularitas Barca pertama kali adalah Sociedad Espanola de Football yang kemudian berganti nama beberapa kali sebelum akhirnya seperti dikenal sekarang sebagai RCD Espanyol. Nama Real Madrid hanya baru menjadi ancaman bagi blaugrana setelah kesuksesan El Real di kancah Eropa, dimana blaugrana tidak bisa sesukses sang rival. Bahkan pemain veteran Real Madrid pra Perang Dunia II pun mengakui jika faham Madridismo tidak memiliki permusuhan dengan Barcelonismo. Perbedaan pandangan politik di era Perang Saudara Spanyol terjadi antara Real Madrid dengan Athletic Bilbao. Bahkan, rivalitas antara Madrid dengan Bilbao inilah yang menjadi salah satu cikal bakal pembentukan harian Marca. Barcelona pada tahun 1930an tidak lebih dari klub biasa karena masih minim prestasi di tingkat Spanyol. 

Jika dilihat kebelakang, alasan suporter FC Barcelona membenci Real Madrid adalah karena kesuksesan kedua tim yang hampir berbarengan pada tahun 1950an. Barca era Ferdinand Daucik dianggap sebagai era kegemilangan Barcelona sepanjang masa (sebelum akhirnya dikalahkan oleh kehebatan Josep Guardiola) versus Real Madrid yang bisa menguasai kompetisi Eropa dengan memenangkan lima Piala Champions (kemudian berganti nama menjadi Liga Champions) secara beruntun. Bisa dibilang, keiri-hatian culers kepada madridista lah yang menjadi inti permasalahan el clasico. Bagaimana pun juga, kesuksesan di tingkat nasional tidak ada apa-apanya dibanding kesuksesan di level regional Eropa. Rasa cemburu ini menjadi semakin membabi buta dengan menyangkut-pautkan dengan perbedaan faham politik. Sungguh aneh kenestapaan ini! 


Apa yang dirasakan Barcelona pada masa lalu, ternyata dirasakan juga oleh Espanyol. Los Periquitos iri melihat sang tetangga lebih bergemilang kesuksesan, kekayaan dan over exposed dari media massa, menjadi pembenaran terhadap kecemburuan dan kemudian menjadi kebencian yang berlebihan. Tidak percaya? Coba simak perkataan mantan pelatih Espanyol, Javier Aguirre seperti dikutip dari The New York Times

"Enam puluh juta euro untuk satu pemain? Kami membayar 750.000 euro untuk delapan pemain. Kami tidak bisa menyamai pengeluaran Barcelona. Kami harus harus mencari pemain-pemain berbakat yang berharga murah."

"Lihat ini. Halaman 40. Halaman 40! Di halaman 39 ada artikel mengenai tim junior Barcelona dan kami ditulis setelah artikel tersebut."

Memang benar apa adanya yang dikatakan manajer asal Meksiko tersebut. Bagi media massa Katalunya, berita mengenai Espanyol tidak menjual. Harian Sport yang notabene pro-cules tentu saja berberat hati menaikan berita mengenai Espanyol. Sedangkan bagi Mundo Deportivo, ada alasan lembaran euro yang menjadi motifnya. Bisa dimaklumi, karena berita mengenai Barcelona tidak hanya dibaca di Katalunya saja, namun di seluruh penjuru Spanyol. 

Jika dikatakan bahwa Espanyol adalah klub anti Katalunya, itu dulu. Lain dahulu, lain sekarang. Buktinya adalah penandatanganan nota kesepakatan rencana pembentukan Catalan Premier League oleh 11 klub asal Katalunya pada Mei 2013 lalu. Ramon Condal yang mewakili Espanyol dan Sandro Rosell yang menjadi perwakilan Barca, turut serta dalam kesepakatan ini. Hanya L'Hospitalet dan politikus nasionalis Spanyol yang menolak turut serta. Kesebelah klub tersebut antara lain: FC Barcelona, RCD Espanyol, Girona FC, Gimnastic, CE Sabadell, CF Badalona, Lleida Esportiu CF/Lerda Balompei-AEM, AE Prat, CF Reus Deportiu, UE Llagostera, dan EU Sant Andreu.

Entah bagaimana masa depan Liga Primer Katalunya tersebut andai Katalunya memang benar-benar merdeka. Apakah Barca akan selalu menjadi juara dan Espanyol menjadi runner-up, atau bagaimana. Yang pasti tim seperti AE Prat akan sulit untuk menjadi juara atau masuk kedalam papan atas. Apalagi kapasitas kursi penonton di stadionnya saja hanya bisa menampung sebanyak 500 orang. Namun kemerdekaan Katalunya menjadi celah tersendiri bagi Espanyol untuk menyamai prestasi Barcelona. 

Saya kemudian berfikir kembali, apakah ada alasan bagi saya untuk mempertahankan gambaran bahwa derbi Barceloni lebih berkelas dibanding el clasico? Bisa jadi, asalkan kedua tim memiliki standar dan level yang serupa. 



PRIMER EL BARCA!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar