Kecemburuan Beralasan La Liga Terhadap Liga Inggris

Dalam sejarah, khususnya Gereja Kristen Katolik, dikenal nama tujuh dosa besar manusia. Tujuh dosa yang disebut seven deadly sins atau capital vices ini menelaah dan membagi-bagikan sifat manusia yang bisa membawa keburukan terhadap diri manusia tersebut. Ketujuh dosa tersebut adalah: birahi, kerakusan, ketamakan, kemalasan, kemarahan, kecemburuan, dan kesombongan. 


Dalam lingkup bersosialisasi, sebagai makhluk sosial manusia sangat erat kaitannya dengan sifat cemburu dan tamak. Manusia memang tidak pernah bisa melihat kesuksesan atau prestasi atau raihan manusia lainnya. Hanya beberapa yang bisa mengendalikan keemburuan, namun tujuh dosa tersebut seakan sudah mendarah daging dalam diri manusia. 

Tidak lama setelah Premier League mengumumkan pembagian hak siar untuk tiga tahun kedepan senilai 5,14 triliun paun, ternyata membuat klub-klub La Liga gerah. Bagaimana tidak, perolehan klub terbawah BPL, yaitu Cardiff yang mendapatkan 74,5 euro paun, tidak bisa menyamai level Valencia yang berada di kisaran 48 juta euro. Bahkan Atletico Madrid yang dalam beberapa musim terakhir bisa mematahkan dominasi Real Madrid dan FC Barcelona pun hanya meraih 42 juta euro. 

Sontak, kabar berita mengenai pembagian kue hak siar BPL membuat tim-tim La Liga mengapungkan lagi wacana pemerataan hak siar yang sudah terendap selama dua tahun. Bahkan CEO Atletico Madrid Miguel Angel Gil Marin pun sudah mengajukan permohonan kepada pemerintah Spanyol untuk meluluskan pemerataan hak siar. Gil Marin bahkan menagih janji sekretaris negara, Miguel Cardenal. 

Perbedaan Pembagian Hak Siar Televisi Liga-Liga Eropa
Dari 40 dari 41 klub La Liga sempat melakukan pertemuan dan mengambil voting untuk meminta Miguel Cardenal untuk meluluskan permohonan tersebut dan menetapkannya sebagai dasar hukum. 

Presiden LFP, Javier Tebas usai pertemuan tersebut mengatakan jika klub-klub La Liga akan melakukan mogok bermain andai belum ada kejelasan hukum hingga Maret nanti. Ancaman yang sangat serius dalam perekonomian Spanyol yang sedang dalam masa krisis. 

Apa yang diminta oleh klub-klub La Liga memang ada benarnya. Permohonan dan ancaman tersebut bukan demi raihan materi demi memperkaya diri, namun lebih kepada pembayaran hutang, baik itu hutang pinjaman atau pun pembayaran hutang pajak. Selain itu, uang dari hak siar bisa dijadikan modal demi membangun skuat yang kompetitif.

Permasalahan dengan pembagian hak siar Liga Spanyol tidak semudah BPL. Di Spanyol, klub diperbolehkan menegosiasikan sendiri besaran hak siar. Tentu saja hal ini sangat merugikan klub-klub kecil seperti Elche, Eibar atau lainnya, karena dianggap tidak menarik penonton televisi. Maka tidak heran jika Real Madrid dan FC Barcelona yang sudah memiliki basis pentonton setia mendapatkan kue lebih besar dibanding klub-klub lainnya. Kue hak siar lebih besar secara langsung maupun tidak langsung, berbanding lurus dengan skuat yang kompetitif.

Dikabarkan Javier Tebas Jaume Roures sebagai pionir dan presiden Mediapro, sudah membuat sebuah perusahaan yang menaungi hak siar sepak bola Liga Spanyol. Perusahaan ini sudah didaftarkan sejak 11 November 2014 lalu dan bernama Spanish Soccer International Marketing AIE. Dalam perusahaan tersebut, Tebas bertindak sebagai direktur dan presiden, sedangkan Roures sebagai sekretaris. 

Perusahaan yang ingin mengambil hak siar Liga Spanyol ini terancam bubar karena Telefonica melalui Movistar TV, telah menjalin kerjasama baru dengan Celta Vigo pada Desember 2014. Sebelumnya Movistar TV telah meneken perpanjangan hak siar dengan FC Barcelona, begitu pula dengan Mediapro yang juga telah menjalin kerja sama Real Madrid. Kerja sama ini akan aktif pada musim 2015/16, karena klub La Liga memang hanya bisa menjual hak siar mereka permusim sejak 2010, bukan pertiga musim seperti Liga Inggris kemarin. 

Berbelitnya kerja sama hak siar ini berpengaruh juga dalam pembagian uang. Tidak heran, seperti yang sudah ditulis diatas, tidak ada pembagian merata. Positifnya, cara ini menghindari kapitalisme (atau sebut saja monopoli) satu perusahaan tertentu. Simalakama, memang.

Siapa pun yang mengambil dan berani membayar hak siar La Liga secara merata, maka tidak ada pilihan bagi perushaan tersebut untuk bermain di siang hari, sama seperti Liga Inggris. Pasar Asia merupakan target yang sangat potensial dibanding pasar Amerika Serikat. Memang pasar Amerika lebih mapan dan, tapi tidak ada yang sefanatik pasar Asia. Kultur sepak bola di Asia pun lebih mendalam, meski kurang berprestasi dibanding Amerika. Arguably, Amerika langganan lolos ke Piala Dunia karena minim lawan yang berat, tidak seperti Asia yang baru-baru ini ditambah Australia.

Sebetulnya LFP, dimana Javier Tebas bertindak sebagai presiden, telah merencanakan akan meraup pasar Asia. Masih ingat di memori dengan program LFP World Challenge, dengan datangnya Sevilla ke Indonesia dan Almeria ke Thailand. Baru-baru ini bahkan Atletico Madrid telah membuka keran kerja sama dengan investor asal Tiongkok, Wang Jianlin sebagai pemilik saham 20 persen klub. Mungkin langkah Atleti lebih ke faktor bisnis dimana akhirnya Rijoblancos akhirnya membuka 200 toko di seluruh Tiongkok, sedangkan Sevilla dan Almeria demi memasarkan nama mereka terlebih dahulu di Asia. 

Bermain sore atau siang hari, artinya La Liga akan bertarung secara langsung dengan Liga Inggris. Bagi sebagaian pihak, La Liga akan "kalah" dibanding Liga Inggris yang lebih "kompetitif dibanding Liga Spanyol." Opini tersebut tidak salah dan tidak juga benar. Diramalkan La Liga akan "kalah" dalam beberapa musim jika mencoba menyaingi Liga Inggris. Tapi La Liga akan menarik animo penonton sebagaimana Liga Inggris. Selain FC Barcelona dan Real Madrid yang memiliki basis suporter besar di Indonesia, La Liga pun menawarkan permainan yang lebih atraktif dibanding Liga Inggris. 

Arguably memang karena segalanya berdasarkan opini, sama seperti kenapa Liga Inggris disebut lebih kompetitf dibanding Liga Spanyol tanpa melihat atau menimbang bahwa faktanya klub-klub La Liga lebih menderita dalam soal hutang dan pembagian hak siar. Tidak familiarnya klub-klub La Liga di Indonesia dikarenakan jarangnya mereka disiarkan di televisi. Pertanyaannya: Apakah Hull City, dan Cardiff City yang notabene klub kecil tidak selevel dengan Rayo Vallecano, Getafe atau Levante? Butuh studi mendalam dan empiris untuk menjawabnya. Tanpa itu, segalanya hanya akan menghasilkan debat kusir semata. 

Bagi klub La Liga, sekarang segalanya hanya tentang uang. Mendapatkan uang lebih dari hak siar, atau mengalami kebangkrutan dan dibeli oleh investor asing. Jika masih ingin memegang teguh tradisi seperti yang sudah dipegang erat selama ini, penyesuaian seakan mutlak dilakukan, salah satunya adalah mengorbankan siesta demi sepak bola.




PRIMER EL BARCA!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar