Petualangan akan usai pada waktunya. Mungkin itu yang terjadi kepada Xavi Hernandez yang pada Kamis (21/05) mengumumkan secara resmi akan hengkang dari FC Barcelona di akhir musim. Sangat disayangkan memang.
Namun dengan usia yang telah menginjak 34 tahun, Xavi tidak seperti dulu. Meski banyak yang berargumen jikalau Xavi masih mampu bermain sepak bola level atas hingga umur 40 tahun, tapi bagi saya Xavi tahu diri dengan cara keluar dari Barca. Kasar? Well, that's the truth.
Entah kenapa, yang ada di benak saya adalah Xavi merasakan apa yang Puyol rasakan. Bukan soal strategi, sistem atau skema pelatih. Bukan. Tapi Keduanya merasa sudah afkir bagi FC Barcelona yang selalu mendapatkan tuntutan bermain di level tinggi. Singkat kata: daripada menjadi penghalang untuk pemain-pemain berbakat yang memiliki karir yang masih panjang, Xavi memutuskan untuk mundur.
Memang, di lini tengah FC Barcelona sekarang ini ada Ivan Rakitic, dimana Luis Enrique sering mempercayakan kepadanya dibanding Xavi. Akan tetapi dengan usia Rakitic yang tidak muda lagi, sudah jelas nyata bahwa Rakitic tidak akan memiliki karir lama. Akademi La Masia akan terus mencetak pemain-pemain berbakat, sesuai dengan futbol base.
Saya rasa sudah banyak artikel yang menggambarkan pentingnya sosok Xavi di blaugrana dan timnas. Bagi penggila La Furia Roja, Xavi tidak tergantikan. Arguably, kematangan seorang Xavi Hernandez sebagai pesepakbola berperan penting di timnas dan di klub. Maka tidak heran pengidolaan terhadapnya datang dari berbagai klub Spanyol, termasuk Real Madrid.
Awal mula perjalanan karir Xavi dimulai dengan keras. Ada sosok Guardiola yang juga memiliki posisi serupa sebagai DMF, ada pelatih kepala bertangan baja dan pemarah Louis Van Gaal, pemain-pemain berlabel flop, perpolitikan klub yang panas, finansial klub yang masih tradisional, dan kemediokeran FC Barcelona.
Xavi memulai karir dari bawah, ketika FC Barcelona dalam masa-masa suram. Akan tetapi kemediokeran Barca kala itu, seakan mengasah Xavi, baik dalam hal sepak bola, juga dalam hal kesetiaan kepada klub. Ketika beberapa pemain hebat dan pemain akademi terkumpul, Barca bangkit menjadi tim yang superior dengan Xavi sebagai otak dari skuat. Azulgrana era Guardiola.
Dengan kepergian Xavi, maka hilang sudah sang dirijen tim. Tidak akan ada lagi metronome skuat. Tidak ada lagi permainan khas Guardiola dan almarhum Tito. Mulai musim depan, cules akan disuguhi permainan cepat, long ball, counter attack, catenaccio, kick and rush atau apa pun itu, tergantung pelatih. Mulai musim panas, para pemain muda memiliki kans besar untuk mengisi tim utama dan menjadi legenda di masa mendatang.
Ya. Disetiap akhir, akan muncul permulaan yang baru. Seperti lava gunung berapi yang memusnahkan hutan, suatu saat akan menyuburkan tanah dengan mineral-mineral. Begitu pula Xavi dengan para pemain muda dan taktik pelatih kepala. Awalan yang segar!
Mungkin paragraf diatas akan diterjemahkan sebagai pengkhianatan terhadap Xavi. Well, saya tidak peduli. Saya hanya berfikiran positif dengan apa yang mungkin terjadi pada FC Barcelona pasca Xavi. Rasa antusiasme dengan penerapan sistem pelatih kepala musim depan pasca Xavi, serupa dengan rasa penasaran pasca era Guardiola. Saya harap pembaca bisa memahami dan merasakan hal yang serupa.
Xavi Hernandez, leyenda!
PRIMER EL BARCA!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar